Tuhan dalam Persepsi Masyarakat Hindu di Toraja

Tuhan, merupakan tema pokok dalam filsafat Ketuhanan dan teologi yang keduanya memiliki persepsi masing-masing. Perbedaannya terletak pada bagaimana menerima Tuhan sebagai obyek kajian. Filsafat menerima Tuhan berdasarkan pendekatan fikir atau rasional sedangkan Teologi berdasarkan keimanan. Di kalangan para filosof, perdebatan tentang Tuhan term asuk hubungannya dengan ciptaan telah lama menjadi perbincangan. Dalam filsafat Ketuhanan terdapat berbagai teori tentang Tuhan, mulai dan Animisme, Dinamisme, Totemisme, Politheisme, Natural Politheisme, Henotheisme (Kathenoisme, Pantehisme, Monotheisme) (terdiri atas Monotheisme Imanent dan Monotheisme Trancendent), hingga Monisme.

Dalam agama Hindu yang dianggap sebagai agama tertua di dunia, telah membahas masalah Ketuhanan sejak zaman Veda. Kendati Weda sebagai Kitab Suci Agama Hindu tidak diketahui secara pasti kapan diwahyukan, tetapi diantara para ahli ada yang memperkirakan 2.400 Sebelum Masehi. Menurut keyakinan umat Hindu bahwa Weda adalah sabda Brahman bersifat Anadi Ananta artinya tidak berawal dan tidak berakhir, sehingga Weda diyakini sudah ada sejak Brahman atau Tuhan Yang Maha esa ada.

Agama Hindu, termasuk yang di Indonesia pernah mengalami persepsi yang keliru tentang bagaimana umat Hindu memahami Tuhan sehingga menjadi “bulan-bulanan” bagi agama-agama belakangan, yang kemudian (salah satu dan faktor lainnya yang) berimplikasi pada fenomena konversi pada pemeluk-pemeluknya yang pada akhirnya berada pada posisi minoritas, tidak terkecuali umat Hindu Alukta di kalangan etnis Toraja Barat. Tuhan dalam pandangan agama Hindu dikenal dengan beberapa istilah. Dalam Weda, Tuhan disebut Dewa atau Dewata, Tat yang diterjemahkan Itu, dan Sat yang artinya kebenaran mutlak. Dalam pandangan upanisad, Tuhan diistilahkan “Brahman” yang bersifat Sat Cit Ananda artinya Brahman adalah satusatunya realitas rohani yang bersifat mutlak tetapi meliputi yang ada (sat) yang sadar atau yang bersifat kekal (cit) dan sumber kebahagiaan sejati (ananda). Sedangkan dalam Lontar-Lontar di Bali tuhan digelari Bhatara Siwa. Adapun Sang Hyang Widhi Wasa, pada mulanya adalah sebutan Tuhan dalam pandangan masyarakat Hindu di Bali, tetapi sekarang sudah menjadi istilah umum bagi umat Hindu di Indonesia yang dipadankan maknanya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sang Hyang Widhi Wasa artinya “Yang menakdirkan” dan / atau “Yang Maha Kuasa”.

Akibat dan konsep Agama Hindu yang demikian, maka tak jarang bagi orang yang tidak memahami secara utuh mengambil kesimpulan-kesimpulan yang keliru. Max Muller, misalnya, pernah menganggap bahwa konsepsi Ketuhanan Hindu adalah Natural Politheisme, tetapi kemudian menyebutnya sebagai Henotheisme (Kathenoisme) yaitu keyakinan terhadap adanya Dewa tertinggi pada suatu masa digantikan kedudukannya oleh Dewa yang lain sebagai Dewa tertinggi. Umat Hindu menyembah berhala ataupun tudingan bahwa agama Hindu bukan wahyu tetapi buatan manusia semata. Bahkan Djam’annuri berpandangan bahwa Agama Hindu adalah agama yang tidak mempunyai bentuk dan selalu merupakan suatu himpunan dan unsur-unsur yang tidak sama dan tidak tetap, diibaratkan sebuah bola salju yang selalu mengelinding dan semakin besar, karena menghisap sebagian besar apa yang dilaluinya, akan tetapi memiliki inti atau azas yang tetap. Sehingga agama Hindu dirumuskan sebagai agama yang tidak memiliki suatu pengakuan iman yang dapat dirumuskan dengan jelas, dan disepakati oleh semua pengikutnya. Singkatnya, menurut Pudja, kesalahan penafsiran itu akibat sumber informasi yang dipergunakan dalam melihat sistem Ketuhanan Hindu tidak secara menyeluruh tetapi lebih cenderung hanya berpatokan pada kitab-kitab purana saja.

Masyarakat Hindu Alukta dan etnis TorajaBarat di Kabupaten Marnasa sampai saat ini masih “sering dianggap” sebagai penganut Animisme dan Dinamisme, walaupun secara formal telah menyatakan dan diterima sebagai bagian integral Hindu di Indonesia sejak 40 tahun silam. Keyakinan ini dinyatakan bagian integral Hindu di Indonesia sejak Tahun 1964, Akibatnya, banyak umat Hindu di daerah ini, terutama di bawah tahun 1980-an, melakukan konversi religius, beralih ke agama lain terutama Agama Kristen.

Untuk memberikan pengetahuan dan sebagai langkah awal pencerahan bagi umat Hindu; khususnya di Hindu etnis Toraja Barat itu sendiri terhadap kenyataan-kenyataan seperti diatas maka penulis terdorong memaparkan sekelumit persoalan Ketuhanan dalam masyarakat Hindu Alukta dan etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa. Tulisan ini lebih bersifat deskriptif-eksploratif dalam arti mencoba mendeskripsikan secara sistematis sebagai upaya menggali konsep-konsep lokal yang belum pernah tersentuh melalui pendekatan ilmiah. Urgensi tulisan ini tidak terletak pada validitas menurut kaidah ilmiah tetapi lebih bersifat informatif, selain kepada umat Hindu Etnis Toraja Barat, juga kepada cendekiawan Hindu yang memiliki perhatian besar pada Agama Hindu di Nusantara ini, untuk tergugah melakukan penelitian yang lebih valid. Dalam tulisan ini akan dipaparkan tiga (3) hal pokok yang menggambarkan bagaimana Tuhan dalam persepsi masyarakat Hindu Alukta dan etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa. Pertama, Sumber ajaran Ketuhanan; Kedua, pengertian Tuhan, dan Ketiga, penggambaran Tuhan dalam persepsi Masyarakat Hindu Alukta dari etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa.

Sumber Ajaran Ketuhanan
Agama merupakan suatu alat untuk menghayati keberadaan Tuhan yang bertitik tolak dan kepercayaan, agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dan keberadaannya sendiri dan agama telah menimbulkan khayalan yang paling luas. Pendapat ini didukung oleh Zenophanes yang menyatakan bahwa agama adalah khayalan manusia, kemudian menciptakan dewadewa, yang merupakan Tuhan tidak bergerak dan kekal.

Dalam ajaran agama Hindu, keyakinan akan adanya kuasa yang super natural (Tuhan) itu dijiwai oleh ajaran Veda. Satu-satunya pemikiran tradisional adalah adanya pernyataan yang menyatakan bahwa Veda adalah kitab suci agama Hindu. Sebagai kitab suci agama Hindu, maka Veda diyakini dan dipedomani oleh umat Hindu sebagai satu-satunya sumber bimbingan dan informasi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun untuk waktu-waktu tertentu.

Veda adalah kitab tertua dari perpustakaan umat manusia. Kebenaran yang terkandung dalam semua agama berasal dari Veda yang akhirnya kembali kepada Veda. Veda adalah sumber utama ajaran agama, sumber tertinggi dan semua sastra agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Veda diwahyukan pada permulaan, adanya pengertian tentang waktu serta tanpa adanya akhir. Dari Weda inilah mengalir ajaran yang merupakan kebenaran agama Hindu. Ajaran Weda dikutip kembali dan memberikan vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya, seperti Smrti, Itihasa, Purana Tantra, Darsana dan Tattwa-Tattwa yang kitawarisi di Indonesia. Weda bukan sebuáh buku yang tunggal seperti Tri Pitaka atau Injil tetapi keseluruhan susastra yang muncul berabad-abad yang silam dan diturunkan serta diteruskan dari generasi ke generasi melalui bahasa lisan. Ketika manusia mengenal peradaban tulisan maka ajaran tersebut dituliskan sehingga muncullah sumber-sumber tertulis yang bentuk dan jumlah yang banyak.

Penyebaran ajaran Veda melalui daerah yang luas serta membutuhkan waktu yang sangat panjang. Menurut Drs. I Gede Sura, seorang tokoh agama Hindu yang cukup mumpuni, karena luasnya daerah dan panjangnya waktu yang dilaluinya, maka wajah Veda dapat saja berubah sesuai dengan ruang dan waktu yang dilaluinya, tetapi esensinya tetap esensi Veda.
Sampai disini, mungkinkah apa yang dipedomani umat Hindu etnis Toraja Barat merupakan bagian dan Veda. Untuk menjawab ini, tentu sangat sukar. Data sejarah yang otentik pun tentang bagaimana pengaruh dan penyebaran agama Hindu seperti yang terjadi di Kutai, Kalimantan Timur, Tarumanegara di Jawa Barat atau bagaimana pengaruh Kerjaaan Majapahit yang dikenal Kerajaan Nusantara Kedua setelah Sriwijaya sebagaimana halnya terjadi di Bali, sepengetahuan penulis belum pernah terungkap. Sumber ajaran Ketuhanan dalam masyarakat Hindu Etnis Toraja Barat disebut Sukaran Aluk. Kata “Sukaran” bisa berarti ukuran, patokan, dan pedoman/tuntunan, sedangkan Aluk berarti : Ajaran Agama, kewajiban, sopan santun/norma-norma, atau aktivitas; tergantung konteks kalimatnya. Segala aktivitas agama bersumber dan berpedoman pada sukaran aluk. Jika tidak, maka dianggap utte’kaialuk yaitu secara harfiah berarti melangkahi aturan agama (aluk) yang maksudnya melanggar aturan agama.

Sukaran Aluk diyakini pemeluknya sebagai wahyu Puang Matua. Menurut Bero bahwa salah satu ciptaan Puang Matua adalah Sukaran Aluk. “Kumombong Tosanda Sangka‘na untampa lalanna aluk, kumombong pemali sanda saratu”. Artinya : lahirlah Beliau yang paling sempurna (baca Puang Matua/Tuhan) untuk menciptakan aturan agama (Aluk), membuat larangan agama (pemali) yang demikian banyak dan lengkap atau sempurna (Ungkapan Sanda Saratu’ artinya harfiahnya: serba seratus).

Karena Sukaran Aluk adalah wahyu dan PuangMatua yang merupakan sumber kebenaran tertinggi maka kebenarannyapun tak diragukan lagi. “Tumompa sanda salunna (dibuat aturan yang sempurna), Kumombong Sanda Tonganna (diciptakan dengan kebenaran yang sempurna), demikian keyakinan umat Hindu terhadap Sukaran Aluk. Karena itu, anggapan-anggapan yang keliru bahwa apa yang menjadi keyakinan umat Hindu di Kabupaten Mamasa yang lazim dikenal Aluk To Matua adalah bukan agama wahyu tetapi kebudayaan manusia semata, dalam arti, agama buatan manusia, tentu tidak beralasan. Hal yang sama juga pernah dialami masyarakat Hindu pada umumnya. Karena itu, Wiana berpendapat bahwa orang yang berpendapat demikian sesungguhnya ada dua kemungkinan. Pertama, tidak mengetahui apalagi memahami, dan kedua menghina agama Hindu.

Sukaran Aluk sebagai sumber ajaran Agama yang dipedomani masyarakat Hindu etnis Toraja Barat yang begitu luas, dalam konteks upacara, pada dasarnya diklasifikasikan menjadi lima bagian. Kelima bagian tersebut diistilahkan Aluk Limo Raidanna yang terdiri dari :
(1) Aluk Bannne Tau,
(2) Aluk Pandanan Lettong,
(3) Aluk Pa ‘taunan,
(4) Aluk Rambu Solo, dan
(5) Aluk Manuk A’pak.
Kadang-kadang istilah Aluk dalam konsep ini disebut Pemala, walaupun keduanya memiliki makna yang berbeda. Pemala lebih identik dengan upacara yadnya, yaitu bentuk pelaksanaan kongkrit dan Aluk. Menurut Mas Putra bahwa upacara adalah pelaksanaan yadnya sehingga disebut upacara yadnya.

Selanjutnya Sukaran Aluk yang terurai menjadi Aluk Lima Randanna seperti di atas masih disederhanakan lagi menjadi dua kategori, yaitu :
(1) Aluk Rambu Tuka, dan
(2) Aluk Rambu Solok.
Empat bagian dalam Aluk Limo Randanna yaitu Aluk Banne Tau, Aluk Pandanna Lettong, Aluk Pa ‘taunan, dan Aluk Manuk A’pak, semuanya dikategorikan kedalam Aluk Rambu Tukak. Sedangkan Aluk Rambu Solok berdiri sendiri. Nampaknya kedua pembagian tersebut didasarkan pada bagaimana sikap manusia di dalam menghadapi kenyataan hidup di dunia berdasarkan keyakinan agama. Aluk Rambu Tuka’ merupakan gambaran sikap manusia yang penuh dengan suka cita di dalam berhubungan dengan yang dipercayainya, sedangkan ketika manusia mengalami suasana bathin yang berduka cita maka hubungan manusia dengan yang dipercayainya disebut Aluk Rambu Solok, upacara yadnya yang berhubungan dengan kematian.

Demikian, yang menjadi sumber ajaran Ketuhanan dalam masyarakat Hindu Etnis Toraja Barat di Kabupaten Mamasa adalah Sukaran Aluk. Ferdinandus (2002) berpandangan bahwa Sukaran Aluk pada hakekatnya berisikan ajaran-ajaran dasar yang secara umum seperti yang ada dalam rumusan Panca Sradha. Di dalam Ajaran-ajaran tersebut nampaknya memperlihatkan fase-fase pemikiran manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sama seperti apa yang terlihat dalam Agama Hindu pada umumnya di Indonesia. Menurut I Gede Sura, Kitab Veda memiliki berbagai-bagai fase perkembangan pemikiran keagamaan. Dalam Veda terdapat perwujudan tanda-tanda politheisme, politheisme yang diorganisir, henotheisme, monotheisme, dan monoisme. WHD No. 450 Juli 2004.

Defenisi Tuhan
Memasuki wilayah konsepsi tentang ajaran ketuhanan berarti telah berorientasi pada sesuatu yang abstrak. Umumnya ide-ide tentang ketuhanan menyangkut keyakiñan para penganut terhadap adanya kuasa di luar batas emperisme yang diikuti oleh umatnya dalam rangka meningkatkan kemanusiaannya sesuai dengan ajaran yang diajarkan dengan keyakinan.

Pemikiran untuk memberikan defenisi tentang Tuhan sesungguhnya sesuatu yang tak mungkin dalam pandangan teologi (Hindu). Menurut Pudja, Tuhan dalam pandangan agama Hindu, termasuk juga pada agama lain, adalah sesuatu yang tidak mungkin atau mungkin salah, sebab suatu definisi yang baik harus mampu memberi gambaran yang jelas dan lengkap, sedangkan Tuhan mencakup pengertian yang luas dan serba mutlak. Namun demi kepentingan praktis, baik dalam sudut keilmuan maupun dalam fungsinya sebagai media penghayatan keagamaan, defenisi itu patut dihadirkan.

Agama Hiftdu sebagai agama tertua di dunia yang menyimpan segudang ajaran yang tidak mudah dimengerti, telah tumbuh dan berkembang melalui keterpaduan tradisi berbagai wilayah yang dilaluinya. Hal ini menimbulkan berbagai konsep dan pengertian telah berkembang sebagai akibat perbedaan cara berpikir dan cara penafsiran atas satu pokok keimanan yang sama tentang Tuhan. Misalnya, perbedaan bahasa dapat memberi arti yang berbeda walaupun maksud pikiran adalah ceperti apa yang dinaksud sebenarnya. Ketidak mampuan manusia untuk menghayati Tuhan yang sebenarnya dilukiskan dalam Wrhaspati Tattwa sebagai berikut:

“Hana wuta samoha, amalaku winarah wruh ring liman, saka swikaranya wruha, amalaku ta ginamelaken dening wong manon liman, ndan kapwa dudu ginamelnya sowang-sowang, hana anggameli hulu, kadi kumbha liman lingnya, waneh angameli talinga, kadi hirir liman lingnya, waneh anggameli gading kadi kakayu binunut liman lingnya”.
(Wrhaspati Tattwa: 4. 1)

Artinya:
Ada orang buta berkumpul, mohon diberi tahu oleh orang yang mengetahui gajah, karena keingin tahuannya demikian kuat, (ia) mohon agar dirabakan oleh orang yang melihat gajah, tetapi masing-masing dirabakan pada bagian yang tidak sama, ada yang dirabakan pada kepala, seperti tempayan gajah itu katanya, yang lain dirabakan pada telinga seperti kipas gajah itu katanya, yang lain dirabakan pada gadingnya, seperti kayu dibubut gajah itu katanya.

Dalam hal ini setiap orang membedakan keberadaan gajah yang sama-sama tidak tahu gajah yang sebenarnya. Demikianlah juga tentang keberadaan Tuhan, yang selalu menjadi perdebatan, padahal tidak tahu tentang Tuhan yang sebenarnya.
Penghayatan Tuhan yang berbeda-beda inilah dalam masyarakat Hindu menimbulkan berbagai macam nama untuk menyebut nama Tuhan dan memunculkan banyak perayaan hari suci untuk memuja beliau yang satu. Keanekaragaman panggilan Tuhan dalam ajaran agama Hindu sesungguhnya dibenarkan. Menurut Titib bahwa kitab suci Weda dan susastra Hindu menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai nama, Tuhan disebut dengan sahasranama (bhs. Sansekerta) artinya ribuan nama. Keanekaragaman istilah terjadi karena faktor keterbatasan manusia pemuja-Nya di dalam memahaminya. Kitab Reg Weda I. 164. 46 menyebutkan Mereka menyebut Indra, Mitra, Waruna, Agni dan Dia Yang Bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, Yang Maha Esa itu oleh orang-orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama seperti : Agni, Yama dan Matariswan.

Demikian juga bagi masyarakat Hindu Alukta di Kabupaten Mamasa di dalam memahami Tuhan tentu menggunakan tradisi dan budaya mereka sendiri yang kesemuanya bersumber dari Sukaran Aluk. Tuhan diapresiasi sebagai Puang Matua. Di samping Puang Matua, juga dikenal istilah Dewata yang jumlahnya sangat banyak sesuai dengan fungsinya. Puang Matua diyakini ada dengan sendirinya atau dengan kata lain tidak pernah dilahirkan ataupun melahirkan. “Apa dadi ria puang matua lan silopakna tana kalua” atau lebih lengkapnya “apa dadi ria Puang Matua lan ba’tangna langi”, kumombong ria Deata lan silopakna padang kalua’, Puang tang didadian, Deata tang dikombongan. Kalimat Puang Matua tang didadin yang artinya Puang Matua tidak dilahirkan menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat Hindu di Kabupaten Mamasa bahwa Tuhan itu diyakini tidak dilahirkan tetapi ada dengan sendiriNya. Selain digelari Puang Matua, Tuhan dalam keyakinan masyarakat Hindu Alukta etnis Toraja Barat juga sering disebut Bhatara Tua dan Puang Takumombong.

Demikian juga Dewata, menurut keyakinan Umat Hindu Alukta, diciptakan seperti adanya manusia yang dalam kutipan di atas disebut “Deata” (Bahasa Toraja Barat : Dewata) tang dikombongan. Disini tentu ada perbedaan istilah antara Dewata dalam masyarakat Hindu di Bali dengan apa yang diyakini dalam masyarakat Hindu Alukta. Di Bali (dalam sumber tertulis) Dewata diartikan sebagai dewanya para dewa yang pengertiannya sama dengan Tuhan sedangkan dewa adalah bagian dan atau manifestasi dari Tuhan. Walaupun demikian, sesungguhnya secara gramatikal bahasa Sanskerta, kedua kata ini mempunyai pengertian yang sama. Dalam konsep Sukaran Aluk Dewata adalah mahkluk ciptaan Puang Matua. Menurut Bero, seorang tokoh agama Hindu Alukta di Toraja Timur Puang Matua menciptakan para Dewata untuk memelihara semua ciptaannya di dunia.

Dewata ini diyakini jumlahnya sangat banyak. “Dewata ponno padang” demikian dikenal dalam sastra tutur masyarakat Hindu Alukta yang arti harfianya alam semesta ini dipenuhi dengan Dc’wata. Adapun Dewata yang banyak itu, antara lain : Dewata To Mepatama Lino (Manifestasi Puang Matua sebagai pencipta), Dewata (To) Merandanan, manifestasi Puang Matua ketika sebagai pemelihara, Dewata Wai yaitu dewata yang menguasai air, Dewata Pare yaitu Dewata yang menguasai padi, Dewata (To) Masagala yaitu menifestasi Puang Matua sebagai pelebur, Dewata Nawang, yang menguasai angkasa, Dewata Api yaitu Yang menguasai api, Dewata Reu yakni Dewata yang menguasai tumbuh-tumbuhan (istadewata bagi peternak), Dewata Litak (Dewa Prthiwi), Dewata To Mesalangga (Dewata yang mengatur pergerakan bumi termasuk gempa bumi), Dewata Pangngalak (Dewa penguasa hutan, dan lain sebagainya).
Dari sekian banyak manifetasi Puang Matua yang disebut Dewata, nampaknya disederhanakan lagi menjadi tiga azas yang sebenarnya tunggal. Ketiga pengelompokan dimaksud disebut Dewata Titanan Tallu, Puang Matua Tirindu Lalikan; artinya tiga azas yang tak terpisahkan. Ketiga azas ini kurang populer bagi masyarakat Hindu Alukta etnis Toraja Barat khususnya bagi yang awam tetapi besar kemungkinan terdiri dari unsur; Puang Matua, Ampo Padang dan Simbolong Padang yang identik dengan Tri Murti.

Konsepsi Dewata yang banyak melahirkan sebagai macam upacara yadnya yang merupakan upaya konkritisasi dalam kehidupan nyata. Ketika manusia ingin memuliakan dan memohon anugrah Tuhan dalam bidang pertanian maka mereka melaksanakan upacara pa’taunan yang ditujukan kepada Dewata Pare. Di bidang peternakan, antara lain, dilaksanakan upacara Ummalli Reu yang ditujukan kepada Dewata Reu, dan upacara-upacara lainnya. Jadi kegiatan keagamaan yang menonjol dalam masyarakat Hindu etnis Toraja Barat akan lebih banyak dalam bentuk upacara keagamaan.

Sumber :http://kmhdipdsulsel.wordpress.com/2012/05/29/tuhan-dalam-persepsi-masyarakat-hindu-di-toraja/